Minggu, 15 Mei 2016

BUDAYA KAFE

Belakangan ini kafe sudah menjadi seperti rumah kedua bagi banyak orang. Terutama di kota-kota besar dan ketika urusannya menyangkut soal berinteraksi dengan orang lain. Mulai dari reuni, nobar, sampai melobi klien atau pertemuan kecil 'pelipur lara' dengan teman-teman.

Setidaknya ada dua kemungkinan mengapa orang memilih kafe untuk berinteraksi dengan orang lain. Pertama soal kepraktisan. Meski lebih mahal, kita tidak perlu pusing soal menyiapkan tempat, menyiapkan makanan serta soal cuci-cuci gelas, piring dll.

Kedua, kenyamanan. Kafe jelas dirancang untuk membuat nyaman pengunjung. Tempat, pelayanan, lokasi, semuanya sudah diperhitungkan secara maksimal. Makanan yang enak, tempat yang strategis, pelayanan yang ramah jadi daya tarik penting bagi tamu. Dan jangan lupa, di jam-jam tertentu biasanya ada live music.


Buat saya yang dibesarkan di kampung, jujur saja kafe agak terasa asing. Rumah masih menjadi pilihan utama sebagai tempat ternyaman. Bukan soal kelebihan atau kekurangan, tapi soal rasa, soal kedekatan.

Rumah memberi saya privasi tingkat tinggi. Dan senyaman apa pun kafe, ia tidak bisa memberikan yang satu ini. Kafe tetaplah ruang publik yang membuat privasi kita dipagari oleh privasi orang lain.

Tetapi apapun preferensi kita, tetap saja kita harus beradaptasi dan membuka diri terhadap hal-hal baru di sekeliling kita. Keterbatasan kafe dalam hal privasi toh bisa terlupakan ketika kita larut dalam kebersamaan dengan para sahabat. Selalu ada kompromi-kompromi yang bisa dilakukan untuk menyikapi hal-hal di luar kebiasaan pribadi.

Yang terpenting, jangan sampai kita lebih banyak menghabiskan waktu di kafe ketimbang di rumah. Ada dua konsekuensi jika itu yang terjadi. Pertama, Anda bisa bangkrut. Kedua, Anda bisa diusir oleh orang rumah karena dianggap sebagai pengkhianat.

Jadi, wilujeng ngafe alakadarnya.

15052016


P.S.: Jika ada waktu, saya masih punya beberapa tulisan lain untuk Anda: